Friday, November 8, 2013

Pengertian Thoriqoh

Dalam buku agenda Muktamar IX Jam’iyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabaraoh An-Nahdliyah disebutkan bahwa Thariqah ialah ilmu untuk mengetahui ihwalnya nafsu dan sifat-siftanya, mana yang tercela kemudian dijauhi dan ditinggalkan, dan mana yang terpuji kemudian diamalkan.
Sedang dalam kitab Jami’ul Ushul fil Auliya karya Syaikh Ahmad Al-Kamiskhowani An-Naqsabandi disebutkan : “Ath-Thariqah hiya As-sirah al-mukhtashshah bis-salikin ilallah min qoth’il-manazil wat-taraqqi fil-maqamat.”  (Thariqah adalah laku tertentu bagi orang-orang yang menempuh jalan kepada Allah, berupa memutus/meninggalkan tempat-tempat hunian dan naik ke maqom-maqom / tempat-tempat mulia)
Menurut Rais ‘Am Jam’iyah Ahlith-Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah, Al-Habib Muhammad Lutfhi Bin Yahya, dalam suatu keterangannya dihari Ahad, 27 Rajab 1425 atau 12 september 2004 menyatakan:
“Thariqah itu terbagi menjadi dua bagian ; Thariqah Syari’ah dan Thariqah Wushul. Thariqah Syar’iyah sebagaimana diketahui dalam ilmu fiqh, adalah aturan-aturan fiqh sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab para fuqoha’ yang mu’tabar (diakui) keimanan mereka, seperti imam abu hanifah, imam malik bin anas, imam muhammad bin idris As-syafi’i dan imam ahmad bin hanbal, yang mereka semua adalah para mujtahid mutlak. Dan para imam dari kalangan Mujtahid Madzhab, seperti imam An-Nawawi, Ar-Romli, Al-‘asqolani, As-Subki, Alhaitami, Ar-Rofi’i dan sebagainya. Dan juga dari kalangan muhadditsin dan mufasirin, seperti imam Ahmad, Bukhori, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, As-Suyuthi, Al-Mahali, Al-Baidlowi, ibnu Katsir dan sebagainya. Mereka adalah para Alim yang telah tersebar luas ilmu-ilmu mereka dan telah diakui keagungan kewalian serta keimanan mereka di dunia Islam. Dan masing-masing mereka telah diakui kedalamannya dalam ilmu syari’at, akhlak, tafsir, hadits, dan lain sebagainya.
Sedangkan thariqah wushul adalah natijah (hasil) dari thariqah syar’iyah dan terbagi menjadi dua kelompok, yang keduanya senantiasa menempuh jalan untuk bisa wushul (sampai kepada Allah).
Yang pertama adalah bagi orang yang berpegang pada sunnah Al-Musthofa Muhammad SAW, adab dan akhlaknya, yang merupakan pintu pertama untuk masuk pada thariqah wushul. Dan seyogyanya bagi setiap orang yang berkeinginan untuk wushul, hendaknya mengetahui terlebih dahulu masalah ini, kemudian syarat-syarat memasuki –thawriwah apapun serta kaifiyah atau tata caranya . dan hendaknya berittiba’ (mengikuti) guru dan syaikhnya yang disertai dengna khidmah (pengabdian. Muwafaqoh (menggangap benar) dan menghindarkan su’udh-dhon (buruk sangka) dengna keberadaan syaikhnya dalam segala keadaan dan ucapannya, walaupun secara lahir bertentangan dengan kebiasaan. Karena seorang syaikh dalam melakukan tarbiyah (pengajaran) ini, terkadang bertindak seperti bengkel listrik yang bekerja mereparasi listrik, dimana sudah barang tentu kedua tanganya berlumuran kotorna-kotoran (yang tidak najis). Tetapi hal tersebut terjadi karena upaya menyambung kabel yang putus, agar lampu bisa menyala. Kalau kita hanya melihat yang tampak saja yang berupa kotoran-kotoran, tentu kita akan mengingkarinya (menganggap nyleneh). Akan tetapi kalau kita melihat hal tersbut sebagai upaya menyalakan lampu, tentu kita akan menganggapnya baik bahkan suatu keharusan. Inilah seperti pekerjaan guru mursyid ketika mengupayakan agar hati muridnya bersinar. Dan inilah sebagai dari khawariqul ‘adah (hal-hal yang menyebal dari kebiasaan) yang kadang-kadang muncul pada seorang syaikh. Maka dari itu bagi setiap orang yang akan merambah thariqah wushul, tidak boleh tidak, harus berpegang pada laku etika dan tata krama. Bukankan nabi SAW  bersabda “ Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan perilaku-perilaku yang mulia”
Adapun thariqah wushul yang kedua adalah bagi orang-orang yang hendak memperoleh natijah (hasil) dari thariqah wushul yang pertama, dia mesti memeperindah dan meningkatkan dirinya dengan syari’at Allah dan sunnah Rasulnya , terutama ketika suluknya, dan natijah (hasil) dari thariqah yang kedua ini adalah untuk membersihkan hati dan relung-relungnya, sehingga yang nampak dalam perilaku dan ucapanya sesuatu yang tidak keluar (tidak melenceng) dari syar’atul Gharra’ (Syari’ah yang cemerlang) untuk meraih thariqah-baidho’ (Thariqah putih). Hal ini bisa terjadi bila keberadaan seseorang itu bersih dari kelalaian, hal-hal yang nista dan hal-hal yang merusakkan, yang semua itu adalah bahaya besar. Maka dengna itu kita tahu bahwa thariqah disini adalah suatu praktek perbuatan untuk memebersihkan hati dan mensucikan relung-relung dari karatnya kelalaian dan salah pahamnya kebodohan. Relung-relung hati itu tidak bisa suci (bersih) kecuali dengna dzikir kepada Allah dengan cara tertentu.oleh karena itu wajib bagi setiap mukmin setelah mengetahui aqidatul awam (50 sifatwajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan para RoasulNya) dan pekerjaan-pekerjaan harian yang disyari’atkan Allah SW, berupa shalat yang meliputi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang membatalkanya, zakat, puasa dan haji untuk meningkatkan diri dalam memasuki thariqah dzikir dengna cara khusus / tertentu .
Dzikir merupakan upaya untuk membersihkan hati dari kotoran dan kelalaian. Pembersih dari hal tersbut adalah wajib, maka memasuki thariqah, wajib hukumnya. Sedang apabila dzikir itu sekadar untuk amalan saja artinya sekedar untuk menambah ibadah saja, maka hukumnya adalah mustahab (sunah). Tetapi kalau benar masuk thariqah itu hukumnya mustahab, lalu dari mana hati akan mengetahui cara untuk mengagungkan keagunan Allah, kalau didalamnya terdapat banyak kelalaian. Sesuatu yang sulit tentunya. Karena tingkatan kadar keimanan seseorang itu tegantung pada kadar kebersihan hatinya. Tingkatan kejujuranya tergantung  pada kadar keikhlasanya. Dan tingkatan keikhlasanya tergantung pada kadar keridloanya terhadap apa yang telah diberikan Allah kepadanya. “demikian keterangan Rais ‘Am tentang thariqah”.

No comments:

Post a Comment