Pengertian Thoriqoh
Dalam buku agenda
Muktamar IX Jam’iyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabaraoh An-Nahdliyah disebutkan bahwa
Thariqah ialah ilmu untuk mengetahui ihwalnya nafsu dan sifat-siftanya, mana
yang tercela kemudian dijauhi dan ditinggalkan, dan mana yang terpuji kemudian
diamalkan.
Sedang dalam kitab Jami’ul
Ushul fil Auliya karya Syaikh Ahmad Al-Kamiskhowani An-Naqsabandi
disebutkan : “Ath-Thariqah hiya As-sirah al-mukhtashshah bis-salikin ilallah
min qoth’il-manazil wat-taraqqi fil-maqamat.” (Thariqah adalah laku tertentu bagi
orang-orang yang menempuh jalan kepada Allah, berupa memutus/meninggalkan
tempat-tempat hunian dan naik ke maqom-maqom / tempat-tempat mulia)
Menurut Rais ‘Am
Jam’iyah Ahlith-Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah, Al-Habib Muhammad Lutfhi
Bin Yahya, dalam suatu keterangannya dihari Ahad, 27 Rajab 1425 atau 12
september 2004 menyatakan:
“Thariqah itu
terbagi menjadi dua bagian ; Thariqah Syari’ah dan Thariqah Wushul. Thariqah
Syar’iyah sebagaimana diketahui dalam ilmu fiqh, adalah aturan-aturan fiqh
sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab para fuqoha’ yang mu’tabar (diakui)
keimanan mereka, seperti imam abu hanifah, imam malik bin anas, imam muhammad
bin idris As-syafi’i dan imam ahmad bin hanbal, yang mereka semua adalah para
mujtahid mutlak. Dan para imam dari kalangan Mujtahid Madzhab, seperti imam
An-Nawawi, Ar-Romli, Al-‘asqolani, As-Subki, Alhaitami, Ar-Rofi’i dan
sebagainya. Dan juga dari kalangan muhadditsin dan mufasirin, seperti imam
Ahmad, Bukhori, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, As-Suyuthi,
Al-Mahali, Al-Baidlowi, ibnu Katsir dan sebagainya. Mereka adalah para Alim
yang telah tersebar luas ilmu-ilmu mereka dan telah diakui keagungan kewalian
serta keimanan mereka di dunia Islam. Dan masing-masing mereka telah diakui
kedalamannya dalam ilmu syari’at, akhlak, tafsir, hadits, dan lain sebagainya.
Sedangkan thariqah
wushul adalah natijah (hasil) dari thariqah syar’iyah dan terbagi menjadi dua
kelompok, yang keduanya senantiasa menempuh jalan untuk bisa wushul (sampai
kepada Allah).
Yang pertama adalah
bagi orang yang berpegang pada sunnah Al-Musthofa Muhammad SAW, adab dan
akhlaknya, yang merupakan pintu pertama untuk masuk pada thariqah wushul. Dan
seyogyanya bagi setiap orang yang berkeinginan untuk wushul, hendaknya
mengetahui terlebih dahulu masalah ini, kemudian syarat-syarat memasuki –thawriwah
apapun serta kaifiyah atau tata caranya . dan hendaknya berittiba’ (mengikuti)
guru dan syaikhnya yang disertai dengna khidmah (pengabdian. Muwafaqoh
(menggangap benar) dan menghindarkan su’udh-dhon (buruk sangka) dengna
keberadaan syaikhnya dalam segala keadaan dan ucapannya, walaupun secara lahir
bertentangan dengan kebiasaan. Karena seorang syaikh dalam melakukan tarbiyah
(pengajaran) ini, terkadang bertindak seperti bengkel listrik yang bekerja
mereparasi listrik, dimana sudah barang tentu kedua tanganya berlumuran
kotorna-kotoran (yang tidak najis). Tetapi hal tersebut terjadi karena upaya
menyambung kabel yang putus, agar lampu bisa menyala. Kalau kita hanya melihat
yang tampak saja yang berupa kotoran-kotoran, tentu kita akan mengingkarinya (menganggap
nyleneh). Akan tetapi kalau kita melihat hal tersbut sebagai upaya menyalakan
lampu, tentu kita akan menganggapnya baik bahkan suatu keharusan. Inilah
seperti pekerjaan guru mursyid ketika mengupayakan agar hati muridnya bersinar.
Dan inilah sebagai dari khawariqul ‘adah (hal-hal yang menyebal dari kebiasaan)
yang kadang-kadang muncul pada seorang syaikh. Maka dari itu bagi setiap orang
yang akan merambah thariqah wushul, tidak boleh tidak, harus berpegang pada
laku etika dan tata krama. Bukankan nabi SAW
bersabda “ Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan
perilaku-perilaku yang mulia”
Adapun thariqah
wushul yang kedua adalah bagi orang-orang yang hendak memperoleh natijah
(hasil) dari thariqah wushul yang pertama, dia mesti memeperindah dan
meningkatkan dirinya dengan syari’at Allah dan sunnah Rasulnya , terutama
ketika suluknya, dan natijah (hasil) dari thariqah yang kedua ini adalah untuk
membersihkan hati dan relung-relungnya, sehingga yang nampak dalam perilaku dan
ucapanya sesuatu yang tidak keluar (tidak melenceng) dari syar’atul Gharra’
(Syari’ah yang cemerlang) untuk meraih thariqah-baidho’ (Thariqah putih). Hal
ini bisa terjadi bila keberadaan seseorang itu bersih dari kelalaian, hal-hal
yang nista dan hal-hal yang merusakkan, yang semua itu adalah bahaya besar.
Maka dengna itu kita tahu bahwa thariqah disini adalah suatu praktek perbuatan untuk
memebersihkan hati dan mensucikan relung-relung dari karatnya kelalaian dan
salah pahamnya kebodohan. Relung-relung hati itu tidak bisa suci (bersih)
kecuali dengna dzikir kepada Allah dengan cara tertentu.oleh karena itu wajib
bagi setiap mukmin setelah mengetahui aqidatul awam (50 sifatwajib, mustahil
dan jaiz bagi Allah dan para RoasulNya) dan pekerjaan-pekerjaan harian yang
disyari’atkan Allah SW, berupa shalat yang meliputi syarat-syarat, rukun-rukun
dan hal-hal yang membatalkanya, zakat, puasa dan haji untuk meningkatkan diri
dalam memasuki thariqah dzikir dengna cara khusus / tertentu .
Dzikir merupakan
upaya untuk membersihkan hati dari kotoran dan kelalaian. Pembersih dari hal
tersbut adalah wajib, maka memasuki thariqah, wajib hukumnya. Sedang apabila
dzikir itu sekadar untuk amalan saja artinya sekedar untuk menambah ibadah
saja, maka hukumnya adalah mustahab (sunah). Tetapi kalau benar masuk thariqah
itu hukumnya mustahab, lalu dari mana hati akan mengetahui cara untuk
mengagungkan keagunan Allah, kalau didalamnya terdapat banyak kelalaian.
Sesuatu yang sulit tentunya. Karena tingkatan kadar keimanan seseorang itu
tegantung pada kadar kebersihan hatinya. Tingkatan kejujuranya tergantung pada kadar keikhlasanya. Dan tingkatan
keikhlasanya tergantung pada kadar keridloanya terhadap apa yang telah
diberikan Allah kepadanya. “demikian keterangan Rais ‘Am tentang thariqah”.
No comments:
Post a Comment